Bismillah

Foto saya
"wahai orang-orang beriman! bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat), dan bertaqwalah kepada Allah. sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.."

:::::::

Photobucket

7 Nov 2010

Pada Mu Rabbi Aku Berjanji


Allah berfirman,
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS At Taubah : 111)

Karena kita sudah berjanji...
Mau tidak mau, sadar atau tidak, terpaksa atau rela, kita sudah berjanji kepada Allah. Berjanji untuk tunduk kepada aturan-Nya, menjadikan Allah sebagai Rabb kita. Sejak dalam kandungan sesungguhnya manusia telah diminta perjanjian atau transaksi untuk menyembah hanya kepada Allah.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS Al A’raf : 172)

Tidak dipaksa untuk bersyahadat
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al Baqarah : 256)

Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, pakar pendidikan Islam, dalam kitab Tarbiyah Ruhiyah bahwa salah satu jalan menuju taqwa adalah mu’ahadah. Yakni selalu mengingat perjanjian dengan Allah. Dalam sehari minimal 9 kali seorang muslim mengucapkan persaksiannya bahwa tidak ada ilah yang haq untuk disembah kecuali hanya Allah, dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.

Ikrar ini memiliki konsekuensi sebagai mitsaqan ghalizha, perjanjian yang agung. Terlebih karena ikrar ini kita ucapkan dengan sesadar-sadarnya dalam shalat tanpa paksaan sama sekali.

Kita telah berjanji, terpaksa atau dengan senang hati. Mu’ahadah berarti kita mengingat itu semua sebagai konsekuensi dari janji, karena setiap janji akan dimintai pertanggung jawabannya. Maka tepatilah janjimu. Allah berfirman,

"Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (QS An Nahl :91)

Untuk Memenuhi Janji Itu

Janji adalah energi. Kekuatannya dahsyat merasuk ke dalam hati. Sebab ia mengikat untuk diikuti dan dipatuhi.

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…" (QS Al Ma’idah : 1)

"Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar." (QS Al Fath : 10)

Penuhilah janjimu!
Karena kita sudah berjanji dan wajib menunaikannya, maka kita kita harus menenggelamkan diri dalam atmosfir tarbiyah untuk meningkatkan kualitas diri, keluarga dan masyarakat guna meraih kesempurnaan Islam, Iman, dan Ihsan serta mendapat ridha Allah.

Mengakui keunikan pribadi
Tarbiyah tidak dimaksudkan untuk membentuk pribadi yang seragam, atau menyeragamkan kepribadian. Tetapi justru mengakui keberagaman dan keunikan untuk diberdayakan sesuai keistimewaan yang telah Allah anugerahkan. Karena kata Nabi setiap manusia memiliki karakteristik masing-masing. "Sebaik-baik kalian di era jahiliyah, sebaik-baik pula di era Islam".

Dimulai dari diri sendiri
Ini tentu menuntut adanya kefahaman, keikhlasan, pengamalan, ketaatan, pengorbanan, kemurnian dan ketulusan, kerja sama serta saling percaya (tsiqah). Tarbiyah yang dibingkai kesadaran penuh inilah yang akan membawa seseorang pada kekokohan sikap, atsbatuhum muqiifan.

Komitmen terhadap diri sendiri
Rahasia sukses ada di tangan kita. Kitalah yang menentukan sukses maupun kegagalan kita. Imam Hasan Al-Hudhaibi berpesan, "Tegakkanlah daulah Islam di dadamu maka akan tertegak ia di bumimu". Jangan menuntut orang lain, tapi tuntutlah diri sendiri. Ajaklah orang lain dengan magnet kebaikan, serulah manusia dengan teladan utama, kuatkan pengaruhmu dengan ketulusan jiwa, jaga dirimu di mana saja berada dengan akhlak mulia, buka pertolongan Allah dengan banyak ibadah.

Terbatas tapi teratas
Orang yang terbatas justru kreatif. Kami yakin bahwa tarbiyah yang sukses bukan terletak pada banyaknya, mahalnya, lengkapnya fasilitas yang ada, tetapi lebih pada kemauan yang kuat dan kreativitas yang selalu terasah. Sehingga apapun keadaannya aktivitas tarbiyah tetap berlangsung, meski dalam keterbatasan, bahkan sangat terbatas.

Kita tidak berorientasi kepada keterbatasan tapi bagaimana menciptakan kemelimpahan. Kitalah yang menciptakan kondisi. Kitalah yang membuat momentum itu menjadi ada. Kitalah yang berupaya menghadirkan perubahan menjadi nyata dan agar eksistensi tetap terjaga.

Membangun Kecerdasan Tarbiyah

"Tak kudapatkan cela yang paling besar pada diri seseorang selain kemampuannya untuk sempurna, tetapi dia tidak mau berjuang untuk meraihnya." (Abu Thayyib Al Mutanabbi)

Tarbiyah itu mencerdaskan
Empat kunci ketenangan hidup
"Aku bisa tenang menjalani hidup ini karena empat hal. Pertama, aku tahu bahwa rezekiku tidak akan jatuh ke tangan orang lain, maka hatiku menjadi tenang. Kedua, aku tahu bahwa tugasku tidak akan dikerjakan orang lain, maka aku sibukkan diriku dengannya. Ketiga, aku tahu bahwa Allah selalu melihatku, maka aku malu jika aku menjatuhkan diriku dalam lumpur dosa. Keempat, aku tahu bahwa ajal itu pasti datang, maka aku selalu bersiap-siap menantinya." (Imam Hasan Al-Basri)

Tarbiyah adalah cara cerdas untuk bahagia, menggapai apa yang semestinya kita dapatkan, menyempurnakan kekurangan, menutup aib dan cela, mengubah tantangan menjadi peluang, mengubah hambatan menjadi kesempatan.

Ciri orang cerdas adalah orang berpikir dan bertindak lebih cepat dari masanya.

Kecerdasan itu dicapai dengan usaha yang serius dan terus menerus. Serius bukan berarti tidak pernah tertawa. Serius tarbiyah juga bukan berarti tidak bekerja, hanya melulu tarbiyah, bukan itu. Justru orang yang serius itulah yang hidup dengan visi dan misi yang jelas, hidup untuk memberi manfaat, serius dalam amal dan ibadah, agar hidup terasa lebih nikmat.

Lakukan Positioning diri
Beriman berbeda dengan sekedar berislam. Sebab iman tidak akan bermanfaat tanpa amal. Firman Allah,
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS Al Hujurat : 14-15)

Katakan dengan prestasi
Tiga kunci kebaikan
"Ada tiga hal yang apabila ketiganya ada pada dirimu, niscaya akan turun kebaikan dari langit dan pasti kamu akan mendapatkan bagiannya. Pertama, hendaklah amalanmu hanya untuk Allah SWT. Kedua, sukailah doa yang menjadi milik orang lain seperti engkau menyukai untuk dirimu. Ketiga, jagalah kehalalan makananmu semampumu." (Abu Hudzaifah ra.)

Raih suksesmu
Rasulullah SAW bersabda,
"Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa menggangu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia." (HR Muslim)

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siapa membuatnya bahagia dengan kebaikannya dan bersedih karena keburukannya, maka dia adalah orang mukmin."

Sukses itu bikin Percaya Diri
Ada lima golongan yang bakal menyesal. Siapa mereka?
1.    Orang yang kehilangan kesempatan beramal.
2.    Orang yang terputus dari saudaranya saat tertimpa musibah.
3.    Orang yang berhasil menangkap musuh tapi lepas kembali karena penjagaannya yang lemah.
4.    Orang yang meninggalkan istri shalihah jika diuji dengan wanita yang buruk.
5.    Orang yang bermaksiat hingga ajal menjemputnya.
(Ibnul Muqaffa’)

Dari sukses diri dalam melakukan kebaikan itu tumbuhlah rasa percaya diri. Setelah kita percaya diri, maka kita akan bisa melakukan sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak lagi.
Diantara balasan kebaikan itu adalah mengajak saudaranya, kebaikan yang lain.
Misalnya, kalau kita bangun malam, lalu shalat malam maka akan terbuka kebaikan lain seperti dzikir, tilawah, doa, bahkan tergerak untuk berniat puasa sunnah.

Barengilah dakwah kita dengan bekal ilmu agar lebih seru dan bermutu. Kepercayaan diri kita akan bertambah saat kita meraih kesuksesan, meskipun berasal dari sukses-sukses yang kecil. Adapun ketika menghadapi masalah, maka hal ini akan membuat kita lebih termotivasi untuk bisa meraih sukses yang lebih besar.

Sebaiknya jangan mengabaikan sukses-sukses kecil itu. Percayalah, bahwa sesungguhnya dari sukses-sukses kecil itu akan menjadi kesuksesan yang luar biasa pada bisnis kita di masa depan. Selamat menempuh hidup baru di jalan dakwah.

Ciri orang cerdas adalah orang yang tidak rela menyerah kalah dari segala bentuk kekurangan, serius melakukan perbaikan, sungguh-sungguh menggunakan kesempatan, dan kontinyu dalam menggandakan kebaikan.

***

Sumber : Quantum Tarbiyah, Ustadz Solikhin Abu Izzuddin

Melindungi, Mencintai..



Wanita tercipta dari tulang rusuk pria
Bukan dari kakinya untuk dihinakan
Bukan pula dari kepalanya untuk disembah
Tetapi dari tulang rusuk
Yang dekat dengan tangannya untuk dilindungi
Yang dekat dengan hatinya untuk dicintai

Dari seorang teman, saya hafal syair ini sejak SMP. Sampai sekarang saya tidak tahu persis siapa yang menggubah syair ini. Yang saya tahu, substansi syair ini tidak salah. Kata-katanya indah dan memiliki hikmah.

“Adam berjalan sendirian di surga”, kata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, “Kemudian ia tertidur sejenak. Setelah bangun, dilihatnya duduk seorang wanita di sampingnya. Ia diciptakan dari tulang rusuk Adam” Kita kini mengetahui bahwa wanita itulah nenek moyang segala umat. Namanya Hawa. Ketika Malaikat bertanya kepada Adam, mengapa namanya Hawa, Adam menjawab: “Karena ia diciptakan dari sesuatu yang hidup”.

Kita pun mendapatkan keterangan yang lebih pasti dalam shahihain. “Wanita diciptakan dari tulang rusuk”, sabda Sang Nabi yang didengar langsung oleh Abu Hurairah.

Sejarah pernah mencatat dua model perlakuan kepada wanita yang melampaui batas. Yang pertama adalah menghinakannya. Di masa Arab Jahiliyah, misalnya, wanita tidak begitu dianggap selain “mesin reproduksi”. Sebagian besar orang Arab bahkan merasa anak perempuan sebagai beban dan aib. Maka, muncullah tradisi mengubur anak perempuan hidup-hidup. Di masa Yunani, posisi wanita juga tidak lebih baik. Para filosof bahkan saling berdebat apakah wanita memiliki jiwa atau tidak.

Sekarang? Masih banyak penghinaan wanita dalam bentuknya yang berbeda. Dalam balutan “modernitas” wanita direndahkan dengan cara yang lain. Dieksploitasi, difungsikan sebagai “marketing tools” dan pemuas nafsu kapitalisme. Kecantikan, keindahan kulit, dan keelokan tubuh menjadi standar “nilai jual” mereka.

Ada pula catatan-catatan kecil sejarah yang mendudukkan wanita secara salah dalam memuliakannya. Catatan minor ini hendak dituntut kembali oleh sebagian kecil orang atas nama kesetaraan gender. Jika segala urusan keluarga beserta pengambilan keputusannya diambil alih oleh wanita, dan sang suami tak lebih dari prajurit setia buta, itu juga awal dari kehancuran dari arah yang berbeda.

Maka interaksi seorang suami kepada istrinya mensyaratkan dua hal: melindungi, mencintai. Melindungi bukanlah mengungkungnya dalam penjara jiwa. Bukan sikap protektif yang merampas hak-haknya. Allah pernah memperingatkan para shabat agar tidak melarang istri-istrinya ke masjid. Melindungi bukan berarti memasungnya dalam cinta. Apatah lagi dalam kungkungan tanpa cinta.

Melindungi wanita dengan demikian adalah membentenginya dari kesengsaraan jiwa. Dan tiada kesengsaraan jiwa yang lebih pedih daripada terperosok dalam neraka. Maka dalam melindungi, QS. At-Tahrim ayat 6 menjadi kaidahnya: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”

Sebenarnya antara melindungi dan mencintai sulit untukdipisahkan agar berdiri sendiri-sendiri. Seorang suami yang mencintai istrinya, ia akan melindunginya dengan segenap kemampuannya. Seorang ayah yang mencintai anaknya juga akan mati-matian melindungi mereka dari segala bahaya.

Bahkan kata-kata dan ungkapan cinta pun, dengan sendirinya ia menjadi perlindungan bagi orang yang dicintai. Hingga Mary Carolyn Davies mempuisikan dengan indah:
Ada sebuah tembok yang kuat
Di sekelilingku yang melindungiku;
Dibangun dari kata-kata yang kau ucapkan padaku

Meski tak dapat dipisahkan, keduanya –melindungi dan mencintai- tetap dapat dibedakan. Melindungi adalah bagian dari mencintai. Melindungi hanyalah salah satu konsekuensi mencintai. Melindungi adalah memberikan rasa aman, sementara cinta bukan hanya memberikan keamanan. Pada saat yang bersamaan atau bahkan sebelum melindungi, pekerjaan pecinta adalah memberikan perhatian. “Kalau intinya cinta adalah memberi”, kata Anis Matta dalam Serial Cinta, “maka pemberian pertama seorang pecinta sejati adalah perhatian”.

Perhatian dalam pekerjaan mencintai membuat seorang suami berkata kepada istrinya: “Aku mencintaimu sebagaimana kamu adanya”. Namun pecinta sejati tidak boleh berhenti di sini. Ia harus melanjutkan dengan tahap berikutnya: penumbuhan. Pada mulanya ia menerima segala kondisi kekasihnya. Namun dalam cinta, ia memberikan sentuhan edukasi pada hubungan cinta. Jadilah istrinya lebih shalihah, lebih cerdas, lebih dewasa, dan seterusnya.

Mencintai bukan berarti membiarkan tulang rusuk kita tetap bengkok. Dengan semangat penumbuhan kita diajari Sang Nabi dalam Shahihain: “Berwasiatlah yang baik kepada kaum wanita. Sebab, wanita diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk bagian atas. Bila engkau hendak meluruskannya, maka ia akan patah. Dan bila engkau biarkan, maka ia akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kebaikan kepada kaum wanita.”

Wallaahu a'lam bish shawab.
source: Samudra Tarbiyah