Bismillah

Foto saya
"wahai orang-orang beriman! bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat), dan bertaqwalah kepada Allah. sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.."

:::::::

Photobucket

21 Jul 2010

WAHABI>>>>

A. PENGERTIAN WAHABI

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiapmuwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang paling baik (Asmaa’ul Husnaa). Jika shufimenisbatkan namanya kepada jama’ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya wahabi menisbatkan diri mereka denganAl-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu Allah yang memberikan tauhid dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhid.

B. MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Beliau dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur’an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hambali, belajar hadits dan tafsir kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Perasaan beliau tersentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya Nejed dengan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan, khurafat dan bid’ah. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Ia mendengar banyak wanita di negerinya bertawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”
Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam , hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata.
Di Madinah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah SAW, serta berdo’a (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sabda Rasulullah SAW . Al-Qur’an menegaskan:
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguh-nya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: 106)
Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah SAW berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdo’a (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.

1. Penentangan orang-orang batil terhadapnya:

Para ahli bid’ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman: “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja?Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat menghe-rankan.” (Shaad: 5) Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhanahu wata’ala menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhid terbesar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.
Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima, padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hambali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam serta tidak bershalawat atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.
Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab telah menulis kitab “Mukhtashar Siiratur Rasuul Shallallahu’alaihi wasallam “. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Rasulullah. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.
Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur’an, hadits dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.
Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis (Syaikh Zainu), bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaranwahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.

2. Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, ‘Dan di negeri Nejed.’ Rasulullah berkata, ‘Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar Al-’Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali ra dibunuh.
Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan sebaliknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.

3. Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan:

Bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang “Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah”, di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin ‘Irfan.
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, akidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama’ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi akidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa akidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.
Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqahagar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid’ah, sehingga memalingkan umat Islam dari akidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdo’a hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa katawahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma’ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk Surga.

Carilah kebenaran dengan jalan berfikir, janganlah anda seperti orang buta yang mengikut tuntunan orang. Keraguan itulah yang dapat menyampaikan kepada kebenaran, sesiapa yang tidak ragu, maka dia tidak berfikir, sesiapa yang tidak berfikir maka dia tidak waspada. Barang siapa yang tidak waspada maka dia tetap buta dan tersesat. Renungilah wahai Insan……

Sumber:http://Mujahid's.blogspot.com

12 Jul 2010

« Wasiat Berbuat Baik Kepada Orang Tua Tatkala Keduanya Berusia Lanjut

Di dalam surat Al-Ahqaf ayat 15 Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman :

“Artinya : Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a, “Ya Rabb-ku, tunjukkilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.





Ukuran terendah mengandung sampai melahirkan adalah 6 bulan (pada umumnya adalah 9 bulan 10 hari) di tambah 2 tahun menyusui anak jadi 30 bulan, sehingga tidak bertentangan dengan surat Lukman ayat 14. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]
Dalam ayat ini disebutkan bahwa ibu mengalami tiga macam kepayahan, yang pertama adalah hamil kemudian melahirkan dan selanjutnya menyusui. Karena itu kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar dari pada kepada bapak.
Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.

“Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu!’ Ia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu!’, Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Bapakmu’ “[Hadits Riwayat Bukhari (Al-Fath 10/401) No. 5971, Muslim 2548]

Imam Adz-Dzhabai dalam kitabnya Al-Kabair berkata:
“Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dan dia telah menyusuimu dari teteknya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dan dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikannmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik. Dia selalu mendo’akanmu dengan taufiq, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat di sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga disisimu. Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas dalam keadaan dia haus. Dan engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu. Dan engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia buat. Dan rasanya berat atasmu memeliharanya padahal adalah urusan yang mudah. Dan engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek. Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut. Dan engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu. Dan Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘Aalamin. Dan Allah berfirman di dalam surat Al-Hajj ayat 10 :
“Artinya : (Akan dikatakan kepadanya), ‘Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tanganmu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak pernah berbuat zhalim kepada hamba-hambaNya”.

Demikianlah dijelaskan oleh Imam Adz-Dzahabi tentang besarnya jasa seorang ibu terhadap anak dan menjelaskan bahwa jasa orang tua kepada anak tidak bisa dihitung. Ketika Ibnu Umar menemui seseorang yang menggendong ibunya beliau mengatakan, “Itu belum bisa membalas”. Kemudian juga beberapa riwayat[1] disebutkan bahwa seandainya kita ingin membalas jasa orang tua kita dengan harta atau dengan yang lain, masih juga belum bisa membalas. Bahkan dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Kamu dan hartamu milik bapakmu” [Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Jabir, Thabrani dari Samurah dan Ibnu Mas'ud, Lihat Irwa'ul Ghalil 838]

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]
_________
Foote Note.
[1] Shahih Ibnu Majah No. 1855
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/457/slash/0

10 Jul 2010

Siapakah Ahlul Kitab itu??

 
Pembahasan mengenai Ahlul-Kitab sangatlah penting karena terdapat beberapa hukum Islam yang terkait dengan mereka. Allah ta’ala telah memberikan satu kekhususan bagi mereka yang tidak didapatkan oleh kaum yang lain, seperti : kebolehan menikahi wanita mereka, kebolehan memakan sembelihan mereka, dan yang lainnya. Oleh karena itu, di sini akan saya tuliskan beberapa point penting yang terkait dengan mereka.


Ahlul-Kitab Termasuk Orang-Orang Kafir
Meskipun Islam memberikan beberapa kekhususan bagi mereka, namun hal itu tidak menjadikan mereka masuk dalam lingkaran iman dan Islam. Bara’ah kita kepada mereka tetap berlaku sebagaimana bara’ah itu juga berlaku kepada orang-orang kafir secara umum. Itu harus menjadi keyakinan segenap orang yang mengaku Rabb-nya adalah Allah dan Nabinya adalah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman :
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata” [QS. Al-Bayyinah : 1].
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar” [QS. Al-Baqarah : 105].

Yahudi dan Nashrani Termasuk Ahlul-Kitaab
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Yahudi dan Nashrani termasuk Ahlul-Kitaab.
Allah ta’ala berfirman :
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 146].
Mengomentari ayat di atas, Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
يقول جل ثناؤه: وإنّ طائفةً من الذين أوتوا الكتاب -وهُمُ اليهود والنصارى. وكان مجاهد يقول: هم أهل الكتاب.
“Allah yang Maha Agung dan Terpuji berfirman : ‘Dan sesungguhnya golongan yang telah diberikan Al-Kitaab’ – mereka adalah Yahudi dan Nashrani. Mujaahid berkata : ‘Mereka (Yahudi dan Nashrani) adalah Ahlul-Kitaab” [Tafsir Ath-Thabariy, 3/188, tahqiq : Ahmad Syaakir; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1420].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وأهل الكتاب الذين هذا حكمهم، هم أهل التوراة والإنجيل. قال الله تعالى : (أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا). فأهل التوراة اليهود والسامرة، وأهل الإنجيل النصارى، ومن وافقهم في أصل دينهم من الإِفْرِنْج والأَرْمَن وغيرهم
“Dan yang dimaksud dengan Ahlul-Kitab adalah ahlut-taurah dan ahlul-injiil. Allah ta’ala berfirman : ‘(Kami turunkan Al Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami’ (QS. Al-An’aam : 156). Maka, ahlut-taurah adalah Yahudi dan Saamirah, sedangkan ahlul-injiil adalah Nashaara dan yang berkesesuaian dengan pokok agama mereka, seperti kelompok Ifrij, Arman, dan yang lainnya” [Al-Mugniy, 9/546, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul-Muhsin At-Turkiy & Dr. ‘Abdul-Fattaah bin Muhammad Al-Huluw; Daar ‘Aalamil-Kutub, 3/1417].

Apakah Majusi Termasuk Ahlul-Kitaab ?
Para ulama berbeda pendapat mengenai mereka. Jumhur ulama mengatakan mereka bukan termasuk Ahlul-Kitaab. Ibnu Qudaamah rahimahullah kembali berkata :

وليس للمجوس كتاب، ولا تحل ذبائحهم، ولا نكاح نسائهم. نص عليه أحمد. وهو قول عامة العلماء، إلا أبا ثور، فإنه أباح ذلك؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ((سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ)). ولأنه يُرْوى أن حذيفة تزوج مجوسية. ولأنهم يقرون بالجزية. فأشبهوا اليهود والنصارى. ولنا، قول الله تعالى : (وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ). وقوله : (وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ). فرخص من ذلك في أهل الكتاب...
“Orang-orang Majusi tidaklah mempunyai Kitaab (sehingga bisa disebut Ahlul-Kitaab). Tidak halal sembelihan dan wanita mereka. Hal itu telah dikatakan oleh Ahmad, dan itulah pendapat jumhur ulama – kecuali Abu Tsaur. Ia (Abu Tsaur) telah membolehkan hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan (aturan) yang diterapkan pada Ahlul-Kitaab’. Juga karena telah diriwayatkan bahwasannya Hudzaifah pernah menikahi wanita Majusi. Juga karena telah ditetapkan pungutan jizyah pada mereka dimana hal ini menyerupai Yahudi dan Nashrani. Adapun kami, (berdalil dengan) firman Allah ta’ala : ‘Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik’ dan juga firman-Nya : ‘Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir’. Maka Allah memberikan keringanan atas hal itu pada wanita Ahlul-Kitaab ….” [Al-Mughniy, 9/547].
Yang raajih dalam hal ini adalah pendapat jumhur ulama.
Hadits yang dimaksudkan oleh Abu Tsaur adalah sebagai berikut :

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ذَكَرَ الْمَجُوسَ فَقَالَ مَا أَدْرِي كَيْفَ أَصْنَعُ فِي أَمْرِهِمْ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَشْهَدُ لَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ 

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ
Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab menyebut-nyebut tentang orang Majusi. Ia berkata : "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap mereka". Lantas ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf berkata : "Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan (aturan) yang diterapkan pada Ahlul-Kitaab".
Hadits ini hasan li-ghairihi.[1] Akan tetapi, yang dimaksudkan di sini adalah khusus perlakuan dalam pemungutan jizyah – bukan selainnya.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ بَجَالَةَ التَّمِيمِيِّ قَالَ لَمْ يُرِدْ عُمَرُ أَنْ يَأْخُذَ الْجِزْيَةَ مِنْ الْمَجُوسِ حَتَّى شَهِدَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah memberitakan kepada kami Ibnu Juraij : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Diinaar, dari Bajaalah At-Tamiimiy, ia berkata : “’Umar tidak ingin memungut jizyah dari orang-orang Majusi, hingga ‘Abdurrahman bin 'Auf bersaksi bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah memungut jizyah dari orang-orang Majusi Hajar” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/194; shahih].[2]

Terdapat riwayat mursal shahih bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memungut jizyah dari orang Majusi Hajar, namun melarang untuk menikahi wanita mereka dan memakan sembelihan mereka.[3] Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
هذا مرسل وإجماع أكثر المسلمين عليه يؤكده ولا يصح ما روى عن حذيفة في نكاح مجوسية.
“Hadits ini mursal, dan ijma’ kebanyakan kaum muslimin terhadapnya (haramnya memakan sembelihan dan menikahi wanita-wanita Majusi) menguatkannya. Tidak shahih riwayat pernikahan Hudzaifah dengan wanita Majusi” [As-Sunan Al-Kubraa, 9/192].
Ini menunjukkan orang-orang Majusi bukan termasuk golongan Ahlul-Kitaab.
Perhatikan pula riwayat berikut :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عِمْرَانَ الْقَطَّانِ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِنَّ أَهْلَ فَارِسَ لَمَّا مَاتَ نَبِيُّهُمْ كَتَبَ لَهُمْ إِبْلِيسُ الْمَجُوسِيَّةَ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bilaal, dari ‘Imraan Al-Qaththaan, dari Abu Jamrah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Sesungguhnya penduduk Persia ketika nabi mereka wafat, maka Iblis menuliskan untuk mereka agama Majusi” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3042; dihasankan oleh Al-Albaaniy].[4]
Atsar Ibnu ‘Abbaas di atas menunjukkan bahwa agama Majusiy bukan agama samawiy yang turun melalui perantara seorang Nabi dan Rasul.
Mengenai pernikahan Hudzaifah dengan wanita Majusiy, Ibnu Qudaamah berkata :

ولم يثبت أن حذيفة تزوج مجوسية، وضعف أحمد رواية من روى عن حذيفة أنه تزوج مجوسية. وقال : أبو وائل يقول : تزوج يهودية. وهو أوثق ممن روى عنه أنه تزوج مجوسية. وقال ابن سيرين : كانت امرأة حذيفة نصرانية. ومع تعارض الروايات لا يثبت حكم إحداهن إلا بترجيح، على أنه لو يثبت ذلك عن حذيفة، فلا يجوز الاحتجاج به مع مخالفته الكتاب وقول سائر العلماء.
“Tidak shahih riwayat Hudzaifah menikahi wanita Majusi. Ahmad telah mendla’ifkan riwayat dari Hudzaifah bahwasannya ia menikahi wanita Majusi. Ia (Ahmad) berkata : Abu Waail berkata : ‘(Hudzaifah) menikahi wanita Yahudi’. Riwayat ini lebih shahih dari orang yang meriwayatkan darinya menikahi wanita Majusi’. Ibnu Siiriin berkata : ‘Istri Hudzaifah adalah seorang wanita Nashrani’. Dengan adanya pertentangan beberapa riwayat hal ini, maka tidak sah hukum salah satu di antaranya kecuali dengan jalan tarjih. Seandainya saja pernikahan dengan wanita Majusi itu shahih dari Hudzaifah, tetap tidak boleh berhujjah dengan karena menyelisihi Al-Qur’an dan perkataan seluruh ulama” [Al-Mughniy, 9/548].

Telah lewat perkataan Al-Baihaqiy atas kelemahan riwayat pernikahan Hudzaifah dengan wanita Majusi. Adapun riwayat pernikahannya dengan wanita Yahudi, maka ini shahih.

حدثنا عبد الله بن إدريس عن الصلت بن بهرام عن شقيق قال : تزوج حذيفة يهودية فكتب إليه عمر أن خل سبيلها ، فكتب إليه : إن كانت حراما خليت سبيلها ، فكتب إليه : إني لا أزعم أنها حرام ولكني أخاف أن يعاطوا المومسات منهن .
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Ash-Shalt bin Bahraam, dari Syaqiiq, ia berkata : Hudzaifah pernah menikahi wanita Yahudi. (Mengetahui hal tersebut), ‘Umar menuliskan surat kepadanya agar ia menceraikannya. Hudzaifah membalas suratnya dengan berkata : ‘Apabila hal itu diharamkan, aku pasti akan menceraikannya’. ‘Umar kembali membalasnya : ‘Sesungguhnya aku tidak mengatakan hal itu diharamkan. Akan tetapi aku khawatir engkau akan wanita pelacur di antara mereka’ [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 9/85 no. 16417; sanadnya shahih].[5]


Apakah Shaabi’uun Termasuk Ahlul-Kitaab ?
 Para ulama pun berbeda pendapat mengenai mereka. Ibnu Qudaamah rahimahullaah berkata :

وأما الصابئون، فاختلف فيهم السلف كثيرا، فَرُوِيَ عن أحمد أنهم جنس من النصارى، ونص عليه الشافعي، وعلق القول فيهم موضع آخر. وعن أحمد أنه قال : بلغني أنهم يسبتون، فهؤلاء إذا يشبهون اليهود. الصحيح فيهم أنهم إن كانوا يوافقون النصارى أو اليهود في أصل دينهم، ويخالفون في فروعه، فهم ممن وافقوه، وإن خالفوهم في أصل الدين، فليس هم منهم. والله أعلم.
“Adapun golongan Shaabi’uun, salaf banyak berselisih pendapat tentangnya. Diriwayatkan dari Ahmad bahwasannya mereka termasuk golongan Nashara. Hal itu tegaskan oleh Asy-Syaafi’iy, dan ia memberikan komentar tentang mereka di tempat yang lain. Dari Ahmad bahwasannya ia berkata : ‘Telah sampai kepadaku mereka merayakan hari Sabtu. Jika demikian, maka mereka serupa dengan orang-orang Yahudi’. Yang benar, jika mereka berkesesuaian dengan Nashrani atau Yahudi dalam pokok (ushul) agama mereka namun menyelisihi dalam cabang (furu’), maka mereka termasuk golongan yang berkesesuaian dengannya (Yahudi atau Nashrani). Akan tetapi jika mereka menyelisihi Yahudi dan Nashrani dalam pokok agama mereka, maka bukan termasuk mereka, wallaahu a’lam” [Al-Mughniy, 9/547].

As-Suddiy menguatkan mereka termasuk Ahlul-Kitaab [Tafsir Ath-Thabariy, 2/147]. Namun Mujaahid, Al-Hasan, Abu Najiih, dan Ibnu Zaid berpendapat mereka bukan termasuk Yahudi, Nashrani, ataupun Ahlul-Kitaab. [idem, 2/146]. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat, sebab tidak ada nash yang shahih dan sharih menyatakan mereka termasuk golongan yang diberikan Al-Kitab. Wallaahu a’lam.
Al-Albaaniy berkata :
لا نعلم أهل الكتاب إلا اليهود والنصارى
“Kami tidak mengetahui tentang Ahlul-Kitaab kecuali Yahudi dan Nashrani” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah oleh Husain bin ‘Audah, 5/108; Al-Maktabah Al-Islaamiyyah, Cet. 1/1425].
Pendapat ini sangat kuat karena sejalan dengan firman Allah ta’ala :

وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ * أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ
“Dan Al-Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat, (Kami turunkan Al Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan : ‘Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca" [QS. Al-An’aam : 155-156].


Hindu, Budha, Konghucu, dan yang Lainnya Termasuk Ahlul-Kitaab ?
Agama-agama tersebut merupakan agama buatan manusia yang Allah ta’ala tidak pernah memberikan keterangan tentangnya. Allah ta’ala tidak pernah memberikan Kitab kepada mereka. Bahkan, mereka menyembah berhala dengan terang-terangan. Seandainya mereka termasuk Ahlul-Kitaab, niscaya Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menurunkan keterangan tentangnya.
Pendapat yang menyatakan mereka termasuk Ahlul-Kitaab adalah pendapat yang baathil.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ al-bogoriy – rajab 1431 – perumahan ciomas permai].


[1]      Diriwayatkan oleh Maalik 2/669-670 no. 669, Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 1773, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 11/169 no. 2751, ‘Abdurazzaaq no. 10025, Abu Ya’laa no. 862, Al-Baihaqiy 9/189-190, dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 54/269; dari jalan Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari ‘Umar bin Al-Khaththaab. Sanad hadits ini munqathi’ karena Muhammad bin ‘Aliy tidak pernah bertemu ‘Umar dan juga ‘Abdurrahman bin ‘Auf [lihat : At-Tamhiid, 2/114].
Diriwayatkan juga oleh Al-Bazzaar dalam Al-Musnad 3/264-265 no. 1056 dari jalan ‘Amru bin ‘Aliy, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Hanafiy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik bin Anas, dari Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy, dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Umar. Abu ‘Aliy Al-Hanafiy ini adalah : ‘Ubaidullah bin ‘Abdil-Majiid Al-Hanafiy, seorang yang tsiqah. Sanad hadits ini ma’lul. Ad-Daaruquthniy berkata : “Diriwayatkan oleh Maalik; dari riwayat Abu ‘Aliy ‘Ubaidullah bin ‘Abdil-Majiid Al-Hanafiy darinya (Maalik bin Anas), dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari kakeknya ‘Aliy bin Al-Husain. Ia telah diselisihi jama’ah ashhaabu Maalik dimana mereka tidak menyebutkan (dalam rantai sanadnya) : ‘dari kakeknya’. Begitu juga yang diriwayatkan oleh Ats-Tsauriy, Sulaimaan bin Bilaal, ‘Abdullah bin Idriis, Hafsh bin Ghiyaats, Anas bin ‘Iyaadl, dan Abu ‘Aashim An-Nabiil; dari Ja’far bin Muhammad - Abu ‘Aashim tidak mendengar dari Ja’far bin Muhammad selain hadits tersebut. Diriwayatkan juga oleh ‘Abdul-Wahhaab Ats-Tsaqafiy, Al-Qaasim bin Ma’n, Ibnu Juraij, ‘Aliy Ghiraab, dan yang lainnya; dari Ja’far, dari ayahnya secara mursal dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf tanpa menyebutkan dalam sanadnya ‘Aliy bin Al-Husain. Inilah yang benar” [Al-‘Ilal, 4/299, tahqiq : Dr. Mahfudhur-Rahmaan As-Salafiy; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1406]. Selain itu, ‘Aliy bin Al-Husain juga tidak pernah mendengar dari ‘Umar dan ‘Abdurahman bin ‘Auf radliyallaahu ‘anhumaa sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abdil-Barr dan Ibnu Hajar.
Hadits ini mempunyai syaahid. Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath (3/375 no. 3442), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Sahl : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim Al-Hajjaaj : Telah menceritakan kepada kami Abu Rajaa’, dari Al-A’masy, dari Zaid bin Wahb : Bahwasannya ‘Umar pernah bertanya tentang status orang-orang Majusi. Lalu ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf berkata : Aku bersaksi bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

المجوس طائفة من أهل الكتاب، فاحملواهم على ما تحملون عليه أهل الكتاب
“Majusi adalah golongan dari Ahlul-Kitaab. Maka perlakukanlah/bebanilah mereka apa yang kalian perlakukan dengannya pada Ahlul-Kitaab (yaitu dalam penarikan jizyah – Abul-Jauzaa’)”.

Al-Hasan bin Sahl mempunyai mutaba’ah dari Ibnu Abi ‘Aashim dan Al-Hasan bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Mujawwin : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Hajjaaj; selanjutnya seperti sanad di atas [lihat : Lisaanul-Miizaan, 3/487 dan Ma’rifatush-Shahaabah oleh Abu Nu’aim hal. 128 no. 497].
Sanad hadits ini dla’iif

Abu Rajaa’ adalah Rauh bin Al-Musayyib At-Tamiimiy. Ibnu Ma’iin berkata : “Shuwailih”. Abu Haatim berkata : “Shaalih, tidak kuat” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 3/496 no. 2247]. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah yang tsiqah”. Abu Daawud berkata : “Tidak mengapa dengannya” [Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil, 1/251 no. 1282]. Ibnu Syaahiin memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat (hal. 129 no. 350). Ibnu Hibbaan berkata : “Meriwayatkan dari orang-orang tsiqah hadits palsu, membolak-balikkan sanad, memarfu’kan sanad mauquf,… tidak halal riwayat yang berasal darinya” [Al-Majruuhiin, 1/370 no. 342]. Ibnu ‘Adiy berkata : “Meriwayatkan dari Tsaabit dan Yaziid Ar-Raqqaasiy hadits-hadits yang tidak mahfuudh” [Al-Kaamil, 4/58 no. 664]. Al-Bazzaar berkata : “Tsiqah” [Lisaanul-Miizaan, 3/486-487 no. 3175]. Ibnul-Jauziy memasukkannya dalam jajaran perawi dla’iif [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun, 1/289 no. 1251]. Begitu juga dengan Adz-Dzahabiy [Al-Mughniy 1/358 no. 2149 dan Ad-Diiwaan hal. 140 no. 1436]. Kesimpulannya : Ia seorang yang tidak kuat haditsnya, terutama jika bersendirian dalam periwayatan. Wallaahu a’lam.
Selain itu, Al-A’masy telah membawakan dengan ‘an’anah sedangkan ia seorang mudallis.
Catatan : Lafadh : ‘Majusi adalah golongan dari Ahlul-Kitaab’ bukan termasuk lafadh yang dikuatkan oleh hadits sebelumnya, sehingga hukumnya tetap dla’iif.

[2]      Riwayat Bajaalah At-Tamiimiy dari ‘Umar bin Al-Khaththaab melalui perantaraan surat ‘Umar yang datang kepadanya saat ia (Bajaalah) menjabat sekretaris Jaza’ bin Mu’aawiyyah.
[3]      Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, ia berkata :

حدثنا وكيع عن سفيان عن قيس بن مسلم عن الحسن بن محمد أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب إلى مجوس أهل هجر يعرض عليهم الاسلام فمن أسلم قبل منه ومن لم يسلم ضرب عليه الجزية غير ناكحي نسائهم ولا آكلي ذبائحهم
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Qais bin Muslim, dari Al-Hasan bin Muhammad : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis kepada orang-orang Majusi Hajar menawarkan pada mereka Islam. Barangsiapa yang masuk Islam, maka diterima. Dan barangsiapa yang tidak mau, maka dikenakan kewajiban membayar jizyah, kecuali jangan menikahi wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan-sembelihan mereka” [Al-Mushannaf, 9/118-119 no. 16581 – tahqiq : Muhammad ‘Awwaamah].

Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10028, Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwaal no. 76, Al-Haarits bin Abi Usaamah dalam Zawaaid-nya no. 675, dan Al-Baihaqiy 9/284-285; semuanya dari jalan Sufyaan Ats-Tsauriy, dari Qais bin Muslim, selanjutnya seperti hadits di atas.

Para perawinya adalah tsiqaat, akan tetapi Al-Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy bin Abi Thaalib tidak pernah bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mursal.
[4]      Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy adalah seorang yang tsiqah lagi haafidh.
Muhammad bin Bilaal Al-Kindiy, ia diperselisihkan para ulama. Abu Daawud berkata : “Tidaklah aku mendengar (tentangnya) kecuali kebaikan”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu ‘Adiy berkata : “Haditsnya tidak banyak, aku mengharap tidak mengapa dengannya”. Al-‘Uqailiy berkata : “Orang Bashrah, banyak keliru dalam haditsnya”. Adz-Dzahabiy mengomentarinya : “Shaduuq, keliru dalam hadits sebagaimana lumrahnya orang-orang berbuat keliru”. Kesimpulan yang benar atas dirinya adalah shaduuq hasanul-hadiits.

‘Imraan bin Daawar Al-‘Ammiy, ia diperselisihkan para ulama. ‘Abdurrahman bin Mahdiy meriwayatkan darinya dimana ini sama dengan pentautsiqan darinya. Yahyaa Al-Qaththaan memujinya. Ahmad berkata : “Aku berharap ia seorang yang shaalihul-hadiits”. Di riwayat lain : “Laisa bi-dzaaka”. Di riwayat lain : “Syaikh”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Banyak kekeliruan dan penyelisihan”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak kuat”. Al-Aajurriy berkata : “Yahyaa bin Sa’iid tidak meriwayatkan darinya, ia tidak ada apa-apanya”. Abu Daawud berkata : “Aku tidak mendengar (tentangnya) kecuali kebaikan”. Di riwayat lain ia berkata : “Lemah. Ia telah berfatwa di jaman Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Hasan dengan satu fatwa yang keras yang padanya terdapat penumpahan darah”. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif”. Di riwayat lain : “Tidak kuat”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia termasuk orang yang ditulis haditsnya”. Al-Bukhaariy berkata : “Shaduuq yahimu”. Ia (Al-Bukhaariy) meriwayatkan haditsnya secara mu’allaq dalam Shahih-nya. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah, tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Shaduuq”. ‘Affaan telah mentsiqahkannya. Al-Haakim berkata : “Shaduuq”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq yahimu”. Al-Haitsamiy berkata : “Telah ditsiqahkan”. Al-Albaaniy berkata : “Terdapat sedikit perbincangan padanya, dan haditsnya tidak turun dari tingkatan hasan”. Sebagian ulama menuduh ‘Imraan mempunyai pemikiran yang condong pada Khawarij, namun sebagian yang lain menolaknya (seperti Ibnu Hajar).
Abu Jamrah adalah Nashr bin ‘Imraan bin ‘Ishaam; seorang yang tsiqah lagi tsabt.



[5]      ‘Abdullah bin Idriis bin Yaziid bin ‘Abdirrahman Al-Aswad, seorang yang tsiqah, faqiih, lagi ahli ibadah.
Shalt bin Bahraam Al-Kuufiy At-Taimiy, seorang yang tsiqah. Al-Bukhaariy berkata : “Ia mendengar riwayat dari Abu Waail (Syaqiiq), shaduuq fil-hadiits”. Abu Zur’ah menyebutkannya dalam Asaamiyyudl-Dlu’afaa’. Abu Daawud berkata : “Tsiqah”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hibbaan berkata : “Orang Kufah, kuat haditsnya (‘aziizul-hadiits)”. Ibnu ‘Uyainah berkata : “Orang yang paling jujur dari penduduk Kuffah”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Orang Kuffah, tsiqah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq, ia tidak mempunyai ‘aib, kecuali pemahaman irjaa’” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 4/438-439 no. 1920, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 1/400 no. 1904, dan Ats-Tsiqaat 6/no. 8637].
Syaqiiq bin Salamah Al-Asadiy, Abu Waail; seorang yang tsiqah.

Sumber:
Abul-jauzaa.blogspot.com

5 Jul 2010

catatan terahir

by: Thufail Al Ghifari.

Terjagalah dari segala maksiat, dari segala zina dan
nafsu dunia yang sesat. disatukan dalam karunia yang suci bersama jiwa-jiwa yang haus akan ibadah dan penuh harga diri. ini bukan cerita cinderella bukan juga patang arang cinta buta siti nurbaya.
tak dapat di ukur tapi bersama Allah semua pasti teratur.
dinyatakan dalam ketulusan dari mutiara ketaqwaan yang sangat mendalam,
bersemi dari pupuk akhlak yang hebat, berbuah dari kesabaran dan ketekunan yang lebat.

tidak..ini tak dapat bisa di mengerti oleh hati yang penuh dusta yang buta dengan warna-warni dunia yang fana,
ini hanya untuk mereka yang selalu ingin luruskan keteladanan bagi generasi berikutnya,
keteladanan abadi dalam harum kasturi dari buah ibadah, dan menjadi manis seperti kurma diawal bulan yang indah.
untuk berjalan diantara kesetian dan harapan dan hanya mau mencium atas dasar kata cinta.
karna bukan apa, siapa dan bagaimana tapi luruskanlah dalam wangi surga,
karna apa sebenarnya kita berani berkata cinta..



inilah cinta sejati..
cinta yang tak perlu kau tunggu tapi ia tumbuh bersama doa malam yang teduh.
tak tersentuh oleh mata dunia yang palsu.
petunjukyang datang dari ruang malaikat yang sanggup melihat tak kenal pekat.
tak lekang oleh zaman yang terus melaju..
dan tak akan habis oleh waktu.
karna kecantikan nya tersimpan dihati, dalam pesona yang selalu menjaga jiwa.
yang menjadikan dunia sebagai surga sebelum surga yang sebenar nya..yang membuat hidup lebih hidup dari kehidupan yang sebenarnya,
seperti sungai yang mengalir yang bening airnya pun selalu artikan keseimbangan syair.
yang satukan dua perbedaan dalam satu ikatan.
untuk melihat kekurangan sebagai kesempatan dan menjadikan kelebihan sebagai kekuatan.
lalu saling mengisi seperti matahari dan bulan dalam kesetiaan ruang kesholehan dan kasih sayang..
dan menjadi sejarah penutup halaman terahir bagi ksatria sastra jihad dan da'wah.
tercatat dalam untaian rahmat berahir dalam catatan terahir yang mulia yang digariskan hanya oleh ketetapan Allah swt..

hingga Rambut kita memutih...
hingga ajalkan menjemput diri ini...

4 Jul 2010

taukah kau

kata mutiara

ukhuwwah

Dunia ini indah karna ukhuwwah yang saling memberi tanpa batas,
ada sapa dalam duka..
ada doa dalam ketakutan..
ada maaf dalam khilaf..
ada taujih dalam perbaikan diri..
ada nasehat dalam kasih sayang..
ada doa dalam kerinduan..
dan ada harap dalam kelemahan diri...

2 Jul 2010

Kiat Menjemput Maut

بسم الله الرحمن الر حيم

Alkisah menurut shirah, pernah Nabi Ibrahim as berdialog dengan Malaikat Maut soal sakratulmaut. Sahabat Allah itu bertanya, “Dapatkah engkau memperlihatkan rupamu saat engkau mencabut nyawa manusia yang gemar berbuat dosa?”
Malaikat menjawab pendek: “Engkau tak akan sanggup.”
“Aku pasti sanggup,” tegas beliau.
“Baiklah, berpalinglah dariku,” pinta si Malaikat.

Saat Nabi Ibrahim as berpaling kembali, di hadapannya telah berdiri sesosok makhluk berkulit legam dengan rambut berdiri, berbau busuk, dan berpakaian serba hitam. Dari hidung dan mulutnya tersembur jilatan api. Seketika itu pula Nabi Ibrahim as jatuh pingsan! Ketika tersadar kembali, beliau pun berkata kepada Malaikat Maut, “Wahai Malaikat Maut, seandainya para pendosa itu tak menghadapi sesuatu yang lain dari wajahmu di saat kematiannya, niscaya cukuplah itu menjadi hukuman untuknya.”

Di kesempatan lain, kisah yang diriwayatkan oleh 'Ikrimah dari Ibn 'Abbas ini, menceritakan Nabi Ibrahim as meminta Malaikat Maut mengubah wujudnya saat mencabut nyawa orang-orang beriman. Dengan mengajukan syarat yang sama kepada Ibrahim as, Malaikat Maut pun mengubah wujudnya. Maka di hadapan Nabi yang telah membalikkan badannya kembali, telah berdiri seorang pemuda tampan, gagah, berpakaian indah dan menyebar aroma wewangian yang sangat harum.
“Seandainya orang beriman melihat rupamu di saat kematiannya, niscaya cukuplah itu sebagai imbalan amal baiknya,” kata Nabi Ibrahim as..

Wajibkah Kita Bermadzhab?

Wajibkah Kita Bermadzhab?